Senin, 16 November 2009

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) PENYEBAB GLOBAL WARMING

A. Pendahuluan
Hutan-hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.
Menurut survei 1999, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada 2005 dan di Kalimantan setelah 2010.
Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (Sumber: World Resource Institute, 1997).[1] Hal ini belum lagi ditambah kebakaran hutan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Hubungan antara kebakaran hutan dan deforestrasi hutan ini nantinya akan berhubungan dengan pemanasan global atau yang dikenal sebagai global warming.
Mekanisme pembakaran, yang digunakan pada pembukaan lahan dan pengeringan gambut yang selanjutnya akan ditanami kelapa sawit atau tanaman kebun lainnya akan menghasilkan jutaan ton karbon dioksida (CO2) dan membuat Indonesia menjadi kontributor emisi CO2 terbesar ketiga dunia.
Sebagaimana dilaporkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel yang berisi para ahli dunia, menyatakan iklim bumi telah berubah. Pertanyaannya adalah kenapa terjadi perubahan iklim global? Karena dampak pemanasan global. Bagaimana terjadinya pemanasan global sebab adanya efek rumah kaca yang berlebihan (lebih dari kondisi normal) di atmosfer bumi, sebagai akibat terganggunya komposisi gas-gas rumah kaca (GRK) utama.[2]

B. Hutan di Kalimantan Selatan











Gambar B.1 Peta Wilayah Pulau Kalimantan
(Sumber: Anonim2, 2009) [3]
Luas kawasan berhutan di Kalimantan Selatan hanya tersisa sepertiga dari total 1,83 juta hektare, akibat penyusutan yang terus terjadi. Kerusakan yang mengakibatkan hutan terus menyusut itu menjadi ancaman serius bagi daerah. Kebijakan pemerintah daerah tidak berpihak pada perlindungan kawasan hutan. Ini terbukti terus masuknya investasi bidang pertambangan dan perkebunan sawit yang merambah kawasan hutan termasuk daerah rawa-rawa. Menurut data WALHI Kalimantan Selatan, luas areal berhutan di Kalimantan Selatan pada tahun 2001 seluas 987.041 hektare (ha) dan terus berkurang menjadi 630.000 ha pada 2007. Artinya terjadi pengurangan luas hutan per tahun seluas 51.000 ha atau 140 ha per hari. Data itu diambil berdasarkan estimasi data Citra Lansat, yaitu terjadi pengurangan luas hutan pada 2001-2003 per tahun 51.000 ha. Dengan demikian kawasan berhutan di Kalimantan Selatan diperkirakan tersisa tidak lebih dari 600.000 ha dari total kawasan hutan 1,83 juta ha. Bahkan kawasan hutan lindung pegunungan Meratus yang merupakan sabuk hijau hutan tropis, kini terancam oleh aktivitas pertambangan. Dari luas 433.677 ha, 142.523 ha atau sepertiganya telah beralih fungsi untuk kepentingan pertambangan.[4] Padahal sebelumnya kita tahu bahwa Kalimantan memiliki sub sektor kehutanan hutan rakyat guna menunjang pembangunan hutan yang berkelanjutan. Selain itu juga telah dikembangkan HTI dan HPH. Luas areal hutan di Provinsi Kalimantan Selatan termasuk didalamnya; hutan lindung, hutan alam, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan konversi dan hutan bakau. Luas lahan kritis adalah sebesar 500.077 ha dan luas lahan reboisasi alam 14.454 ha. [5]




















Gambar B.2 Peta Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan
(Sumber: Departemen Kehutanan) [3]
C. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dan lahan adalah sebuah kejadian terbakarnya kawasan hutan/lahan baik dalam luasan yang besar maupun kecil. Kebakaran hutan dan lahan seringkali tidak terkendali dan bila ini terjadi maka api akan melahap apa saja dihadapannya mengikuti arah angin. Kebalikannya, penyebaran api kebakaran di lahan gambut justru tidak mengikuti arah angin. Titik api justru berada dikedalaman lebih dari 2 meter. Pada kawasan gambut rembetan api akan meluas kesegala arah dan sulit untuk diperkirakan penyebarannya. [6]
Kebakaran hutan dan lahan bukan merupakan fenomena yang baru di Indonesia. Berdasarkan analisis radiokarbon datang dari temuan arang pada tanah di Kalimantan Timur diketahui telah terjadi kebakaran pada tahun 1980-an (Goldmmer and Siebert, 1990). Tingginya kebakaran ditunjang dengan terjadinya periode iklim panas atau disebut juga El Nino. Pada wilayah lahan gambut yang digunduli dan kering telah terjadi kebakaran yang parah hampir setiap tahun. Konversi hutan gambut menyebabkan rusaknya ekologi hutan gambut tersebut. Terutama karena pembuatan drainase yang berlebihan maka muka air tanah menjadi sangat cepat menurun, sehingga menyebabkan gambut mengalami kekeringan dan mengkerut (subsidence), kondisi ini memicu kebakaran lahan gambut. [7]
Tingkat kenaikan/penurunan jumlah hotspot tahun 2005/2006 di 8 provinsi yang terjadi kebakaran lahan dan hutan dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel C.1 Tingkat kenaikan/penurunan Jumlah Hotspot tahun 2005/2006 di 8
Provinsi
No. Provinsi Jumlah Hot Spot
Th. 2005 Th. 2006 %
1 Sumatera Utara 3830 3581 -6,5
2 Riau 22.630 35.426 56,54
3 Jambi 1208 6948 475,17
4 Sumatera Selatan 1182 21.734 1738,75
5 Kalimantan Barat 3022 29.266 864,43
6 Kalimantan Tengah 3147 40.897 1199,56
7 Kalimantan Selatan 758 6469 753,43
8 Sulawesi Selatan 133 1201 803,01
Sumber: Portal Nasional Republik Indonesia, 2009. [8]
Berdasarkan tabel C.1 dapat disimpulkan bahwa peningkatan jumlah hotspot terjadi sangat signifikan mulai tahun 2005 hingga 2006. Kalimantan Selatan menempati urutan ke lima persen peningkatan hotspot dari delapan provinsi terjadi kebakaran lahan dan hutan. Sangat disayangkan sekali. Sedangkan saat ini tingkat kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan mulai berkurang dibandingkan tahun 2006.








Gambar C.1 Grafik Jumlah Hotspot Bulan Januari - Desember Tahun 2006,
Tahun 2007 dan Tahun 2008 Provinsi Kalimantan Selatan
(Sumber: Brigdalkarhut, 2009) [9]
Jumlah hotspot 01 Januari - 31 Desember 2008 di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan pantauan Departemen Kehutanan, Ditjen PHKA, Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Stasiun Bumi Satelit NOAA 18, yaitu 203 hotspot.
Sebagian besar hotspot berada di luar kawasan hutan/Areal Penggunaan Lain (APL), yaitu 140 Hotspot (69%). Sisanya berada di dalam kawasan hutan, yaitu 34 Hotspot (17%) di Hutan Produksi (HP), 21 Hotspot (10%) di Hutan Produksi Dapat DiKonversi (HPK), 5 Hotspot (2%) di Hutan Lindung (HL) dan 3 Hotspot (1%) di Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Hotspot terdapat di setiap Kabupaten dan Kota di Provinsi Kalimantan, yaitu: di Kab. Tabalong (40 Hotspot), Kab. Hulu Sungai Selatan (39 Hotspot), Kab. Balangan (32 Hotspot), Kab. Banjar (18 Hotspot), Kab. Barito Kuala (18 Hotspot), Kab. Tanah Laut (14 Hotspot), Kab. Hulu Sungai Utara (13 Hotspot), Kab. Kotabaru (10 Hotspot), Kota Banjarmasin (9 Hotspot), Kab. Tapin (5 Hotspot), Kota Banjarbaru (2 Hotspot), Kab. Hulu Sungai Tengah (2 Hotspot) dan Kab. Tanah Bumbu (1 Hotspot) (Brigdalkarhut, 2009). [9]
Berikut data yang diperoleh dari sumber Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan untuk rekapitulasi titik panas yang terjadi hingga tanggal 20 Oktober 2009.

Tabel C.2 Rekapitulasi Data Titik Panas (Hotspot) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2009
No. Bulan/Tahun Jumlah Hotspot Banjar Batola Tala Banjarmasin Banjarbaru Tapin HSS HST HSU Balangan Tabalong Tanah Bumbu Kotabaru Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 Januari 2009 1 - - - - - - - - - - - - 1 Dalam kawasan hutan 362 titik (31,18%)
2 Febuari 2009 0 - - - - - - - - - - - - - Luar kawasan hutan 799 titik (68,82%)
3 Maret 2009 2 - - - - - - - - 2 - - - -
4 April 2009 52 22 7 11 - - 11 - - - - - 1 - catatan : data hotspot sampai tanggal 19 oktober 2009
5 Mei 2009 10 - - - - - 2 1 1 - - 1 1 4
6 Juni 2009 22 4 4 - - - 6 1 3 1 - - 1 2
7 Juli 2009 94 30 4 6 - 1 25 15 4 9 - - - -
8 Agustus 2009 276 45 32 40 - 5 45 23 10 16 22 9 6 23
9 September 2009 592 95 70 69 2 8 52 40 5 38 16 24 62 111
10 Oktober 2009 112 10 13 2 - - 31 9 2 12 4 8 4 17
11 Nopember 2009
12 Desember 2009
1161 206 130 128 2 14 172 89 25 78 42 42 75 158
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, November 2009
D. Mengapa Bisa Terjadi Kebakaran Hutan
Kebakaran terjadi karena dua hal: karena ulah manusia baik disengaja maupun tidak disengaja dan karena terbakar dengan sendirinya. Kebakaran dengan sendirinya juga tidak disembarang tempat. Kebakaran dengan sendirinya hanya terjadi pada daerah yang tanahnya mengandung batubara. Pada daerah lain mustahil terjadi kebakaran dengan sendirinya. Hal ini disebabkan jenis hutan alam di Indonesia yang masuk dalam kategori Hutan Tropis (Tropical Forest) atau Hutan Hujan Basah (Rain Forest) sehingga lantai hutan selalu dalam keadaan basah/lembab. [10]
















Gambar D.1 Kebakaran Hutan Akibat Ulah Manusia Baik Disengaja atau Tidak
(Sumber: Berbagai Sumber)
Untuk-unsur kesengajaan, manusia sengaja melakukannya untuk membuka dan membersihkan lahan. Pembakaran hutan dalam waktu singkat juga diyakini dapat meningkatkan kesuburan tanah. Pada beberapa kelompok masyarakat yang masih memiliki kearifan tradisional, pembakaran hutan dilakukan sebulan sebelum musim penghujan. Hal ini diperlukan karena hutan/lahan yang terbakar dalam waktu yang lama malah justru menghilangkan kesuburan tanah.
Untuk-unsur ketidaksengajaan biasanya terjadi pada musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau, sebatang rokok yang dibuang ke semak yang kering akan mampu menimbulkan api apabila angin bertiup perlahan. Bekas api unggun yang tidak mati dengan sempurna juga mampu memicu terjadinya kebakaran hutan/lahan. [10]
Pada wilayah lahan gambut yang digunduli dan kering telah terjadi kebakaran yang parah hampir setiap tahun. Konversi hutan gambut menyebabkan rusaknya ekologi hutan gambut tersebut. Terutama karena pembuatan drainase yang berlebihan maka muka air tanah menjadi sangat cepat menurun, sehingga menyebabkan gambut mengalami kekeringan dan mengkerut (subsidence), kondisi ini memicu kebakaran lahan gambut. [7]
Hal lain yang mendukung terjadinya pemabakaran hutan adalah pembukaan lahan dengan pembakaran secara besar-besaran seperti untuk memenuhi kebutuhan hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan proyek lahan gambut sejuta hektar yang mengakibatkan kerusakan parah. Page et. al (2002) melaporkan bahwa luas areal yang terbakar pada tahun 1997 di lahan gambut Kalimantan Tengah sekitar 0,73 juta ha. Kemudian tahun 2005 telah terjadi juga kebakaran seluas 600 ribu ha berdasarkan pendugaan data Landsat ETM+ (Miettinen et. al, 2007). [7]
Selain itu adanya laporan dan informasi yang menyebutkan mengapa masyarakat melakukan pembakaran hutan, pembukaan lahan dengan menggunakan cara membakar yang tidak terkendali dan merusak erat kaitannya dengan pembangunan industri kelapa sawit di Indonesia karena empat alasan pokok berikut ini:
• Kebakaran menurunkan kualitas lahan hutan dan dengan demikian mendukung usaha untuk memiliki kawasan hutan permanen (seperti hutan produksi) secara legal untuk diklasifikasikan kembali sebagai kawasan-kawasan hutan yang tersedia untuk konversi bagi perkebunan. Dengan semakin terbatasnya ketersediaan lahan yang tidak diklasifikasikan sebagai hutan dan yang cocok untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit, membakar hutan kemudian menjadi suatu cara yang bermanfaat untuk meningkatkan persediaan lahan yang ada.
• Di kawasan yang telah dialokasikan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit, membakar hutan adalah suatu cara yang hemat biaya untuk membuka lahan. pembukaan lahan dengan alat-alat mekanis membutuhkan biaya yang dua kali lipat lebih mahal daripada melakukan pembakaran.
• Buah kelapa sawit harus diolah dalam 24 jam setelah dipanen, sehingga banyak perusahaan lebih senang jika lokasi perkebunan letaknya sedekat mungkin dengan fasilitas pengolahan dan jalur-jalur transportasi yang dapat membawa hasil panennya ke berbagai fasilitas ini. Namun, kawasan-kawasan seperti ini yang lebih mudah diakses umumnya telah padat dan diolah oleh penduduk lokal. Perusahaan-perusahaan kelapa sawit kemudian menyewa tenaga kerja dari luar untuk bekerja dan membakar lahan masyarakat lokal yang lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan, untuk mengusir masyarakat. Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi terdegradasi, dan dengan demikian perusahaan akan lebih mudah dapat mengambil alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk asli.
• Dalam beberapa kasus, penduduk lokal juga melakukan pembakaran untuk memprotes pengambil-alihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit. [11]

E. Hubungan antara kebakaran hutan dan efek rumah kaca
Kerusakan hutan ini membawa dampak global yang sangat signifikan. Penggundulan hutan untuk perkebunan berhubungan erat dengan kebakaran hutan dan mengeringnya lahan gambut yang memberi kontribusi besar pada peningkatan emisi gas rumah kaca di indonesia. Menurut Wetlands International, dan bank dunia, Indonesia menempati posisi ketiga penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina, dan di atas Brazil yang kerusakan hutannya juga menaikkan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Dalam laporan Stern-yang disusun oleh pemerintah inggris untuk menginvestigasi dampak ekonomi dari perubahan iklim- menemukan bahwa musnahnya hutan alami di seluruh dunia setiap tahun telah menghasilkan emisi lebih besar dibanding sektor transportasi.
Tabel E.1 Barang dan Jasa yang Diambil oleh Masyarakat Lokal dari Ekosistem Hutan
Barang dan Jasa Dari Hutan Yang Bernilai Ekonomi
Barang dan Jasa Lokal Regional Global
Penggunaan Langsung Hasil Hutan
- Kayu x x x
- Bahan Bakar/Arang x
- Produk Hutan Non Kayu x
Informasi Genetika
- Obat-Obatan Tradisional x
- Terkait dengan Farmasi x x x
- Penelitian x x x
Rekreasi dan Wisata x x x
Penggunaan Tidak Langsung Pengaturan Tentang Curah Hujan Setempat x
Banjir dan Pengaturan Tentang Penggunaan Air x x
Kontrol Erosi Tanah x x
Penyimpanan dan Penyerapan Karbon x x x
Kesehatan x
Pilihan Penggunaan Di Masa Depan Baik Secara Langsung Maupun Tidak Atas Barang dan Jasa x x x
Bukan Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional/Budaya serta Tradisi x x x
Sumber: Marti, 2008. [12]
Berdasarkan Tabel E.1 maka hutan berfungsi secara tidak langsung dalam penyimpanan dan penyerapan karbon sehingga apabila terjadi kerusakan hutan dan terlebih lagi pembakaran hutan secara ilegal, maka hal tersebut akan berpengaruh dalam peningakatan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab global warming.

F. Efek Rumah Kaca dan Dampaknya
1. Pengertian Efek Rumah Kaca
Istilah efek rumah kaca, diambil dari cara tanam yang digunakan para petani di daerah iklim sedang (negara yang memiliki empat musim). Para petani biasa menanam sayuran atau bunga di dalam rumah kaca untuk menjaga suhu ruangan tetap hangat. Kenapa menggunakan kaca/bahan yang bening? Karena sifat materinya yang dapat tertembus sinar matahari. Dari sinar yang masuk tersebut, akan dipantulkan kembali oleh benda/permukaan dalam rumah kaca, ketika dipantulkan sinar itu berubah menjadi energi panas yang berupa sinar inframerah, selanjutnya energi panas tersebut terperangkap dalam rumah kaca. Demikian pula halnya salah satu fungsi atmosfer bumi kita seperti rumak kaca tersebut.
2. Penyebab
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.










Gambar F.1 Proses Terjadinya Efek Rumah Kaca
(Sumber: WALHI, 2009) [13]
Energi yang masuk ke bumi mengalami : 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.
Darimanakah gas-gas tersebut dapat dihasilkan? GRK dapat dihasilkan baik secara alamiah maupun dari hasil kegiatan manusia. Namun sebagian besar yang menyebabkan terjadi perubahan komposisi GRK di atmosfer adalah gas-gas buang yang teremisikan keangkasa sebagai “hasil sampingan” dari aktifitas manusia untuk membangun dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini. Dimulai sejak manusia menemukan teknologi industri pada abad 18, banyak menggunakan bahan bakar primer seperti minyak bumi, gas maupun batubara untuk menghasilkan energi yang diperlukan. Energi dapat diperoleh, kalau minyak itu dibakar lebih dahulu, dari proses pembakaran tersebut keluarlah gas-gas rumah kaca.
Aktifitas-aktifitas yang menghasilkan GRK diantarnya dari kegiatan perindustrian, penyediaan energi listrik, transportasi dan hal lain yang bersifat membakar suatu bahan. Sedangkan dari peristiwa secara alam juga menghasilkan/mengeluarkan GRK seperti dari letusan gunung berapi, rawa-rawa, kebakaran hutan, peternakan hingga kita bernafas pun mengeluarkan GRK. Selain itu aktifitas manusia dalam alih guna lahan juga mengemisikan GRK.
Tabel F.1 Sumber Emisi Global
Gas Kontribusi Sumber emisi global %
CO2 45-50% Batu bara 29
Minyak Bumi 29
Gas alam 11
Penggundulan hutan 20
Lainnya 10
CH4 10-20%
Sumber : Kantor Menteri Negara KLH, 1990


3. Dampak
Menurut perkiraan, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi rata-rata 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut, sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar. [14]

G. Peranan Masyarakat dan Pemerintah dalam Pencegahan Kebakaran Hutan
Jika direnungkan, akan sangat disayangkan jika hutan Indonesia terus mengalami penyempitan. Luas hutan yang mengalami kerusakan hampir mencapai 3 juta hektar per tahun. Hal ini menyebabkan keragaman spesies di habitatnya terancam punah. Keadaan hutan di Indonesia memang sebaiknya menjadi perhatian yang nomer satu, karena memang sekarang ini hutan Indonesia sudah mencapai fase kritis. Keadaan hutan Indonesia yang terjadi sekarang ini masih bisa diperparah lagi apabila pemerintah tidak segera melakukan tidakan yang riil dan tepat untuk kelangsungan hutan Indonesia (Amino,2009).
Pembakaran hutan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kerusakan hutan Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum banyak tindakan hukum yang telah diambil oleh pemerintah terhadap para pembakar hutan, meskipun sudah ada peraturan perundangan tentang larangan pembakaran hutan, di antaranya PP No. 4 Tahun 2001.
Dalam pasal 11 berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan”. Maka dapat disimpulkan, apabila terjadi pelanggaran akan dikenakan sanksi dengan tegas.
Agar tercipta suatu keharmonisan dalam perawatan dan perlindungan hendaknya harus ada wujud yang nyata dari peranan masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaannya, yang dapat dideskripsikan dalam Gambar G.1:









Gambar G.1 Peranan Masyarakat dan Pemerintah dalam perlindungan dan
pengelolaan hutan
H. Hasil dari Konferensi Climate Change di Bali
Sementara dukungan nyata lainnya datang dari agenda Konferensi Kerangka Kerja Sama Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC/United Nations Framework Convention on) mendapatkan kesepakatan yang disebut dengan nama Bali Road Map (Peta Jalan Bali). Beberapa hal penting yang termuat dalam kesepakatan tersebut, antara lain: aksi adaptasi, jalan pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi dan keuangan yang meliputi adaptasi dan mitigasi.
Negara peserta konferensi sepakat membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang, yang ditanggung melalui clean development mechanism (CDM) yang ditetapkan Protokol Kyoto. Kesepakatan lainnya, adalah Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD) yang berfokus pada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Selanjutnya, yang tidak kalah pentingnya adalah kesepakatan untuk menggandakan batas ukuran proyek penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak bisa ikut mekanisme ini. [15]
Semoga nantinya kebakaran hutan yang sering terjadi di daerah Kalimantan Selatan pada khususnya dapat lebih terjaga, sebagai salah satu usaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global (Global Warming). Adapun gerakan-gerakan yang telah dilakukan pemerintah semoga mendapat acuhan dari masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan sekitar, terlebih lagi untuk menjaga kawasan hutan di Kalimantan telah ada pembiayaan proyek tersendiri atas hasil kesepakatan Konferensi Climate Change di Bali yang peduli dengan masalah pemanasan global.

I. Kesimpulan
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia ternyata dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Gas rumah kaca yang dihasilkan dari kebakaran hutan tersebut dapat menyebabkan peningkatan suhu bumi, yang berakibat pada pemanasan global atau global warming. Untuk mencegah peningkatan emisi gas rumah kaca, butuh kerja sama semua pihak agar keadaan sesuai dengan apa yang diharapkan.
J. Ucapan Terima Kasih
Saya ucapkan terimakasih kepada:
1. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan yang telah bersedia memberi data dan informasi dalam penyusunan essay.
2. Dosen pengajar Mata Kuliah Pengelolaan Lingkungan, Bapak Didik Triwibowo yang telah membimbing dan mengijinkan saya untuk selalu berkonsultasi.
3. WALHI, Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan yang telah memberi data serta informasi.
4. Teman-teman Teknik Kimia Angkatan 2006 yang telah banyak membantu dalam pembuatan essay ini.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Institut Studi Arus Informasi. Potret Buram Indonesia. http://www.isai.or.id/?q=node/10

[2] Haneda. Hubungan efek Rumah Kaca Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. 9 November 2004. http://climatechange.menlh.go.id/index2.php?option=content&do_pdf=1&id=15

[3] Departemen Kehutanan http://www.dephut.go.id/informasi/intag/Peta%20Tematik/RHL_02/Rhlksel.gif

[4] Susanto, D. Media indonesia. Luas Hutan di Kalsel Tinggal Sepertiga. 23 Oktober 2009. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/10/23/101827/127/101/Luas-Hutan-di-Kalsel-Tinggal-Sepertiga

[5] Portal Nasional Republik Indonesia. Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Selatan http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=3538&itemid=1962

[6] Syumanda, R. Forest. http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/153-apa-itu-kebakaran-hutan-dan-lahan.html

[7] Peatlands. Kebakaran hutan dan lahan gambut. 5 september 2009. http://ilmugambut.blogspot.com/2009/09/kebakaran-hutan-dan-lahan-gambut.html

[8] Portal Nasional Republik Indonesia. Lokakarya Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=4352&Itemid=694

[9] Brigdalkarhut Kalimantan Selatan. Hotspot tahun 2008. http://brigdalkarhutkalsel.blogspot.com/

[10] Amino. http://www.blogger.com/profile/17219853434652022207

[11] Anonim5, Hubungan antara kebakaran hutan dengan penanaman kelapa sawit. http://pdf.wri.org/indoforest_chap4_id.pdf

[12] Marti, S. 2008. LifeMosaic-Hilangnya tempat berpijak dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap HAM di Indonesia. Penerbit Friends of earth, sawit watch, LifeMosaic. Bogor.

[13] Bolahijau. Global Warming Attacks. 16 Februari 2008 http://bolahijau.blogspot.com/2008/02/global-warming-attacks.html

[14] As-syakur, A. R. Hubungan Hubungan Efek Rumah Kaca, Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. 17 juli 2008. http://mbojo.wordpress.com/2008/07/17/hubungan-efek-rumah-kaca-pemanasan-global-dan-perubahan-iklim/

[15] Anonim6, Gerakan Pemuda Anshor. Hasil Kompromi Konferensi Climate Change. 18 Desember 2007. http://www.gp-ansor.org/?p=3738

Tidak ada komentar:

Posting Komentar